Jakarta, GoBanten.com - Indonesia Police Watch (IPW) mengapresiasi keberanian Kejaksaan Agung mengungkap dugaan korupsi di balik proses peradilan terhadap kasus Ronald Tannur di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya serta perkara ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang sarat dengan permainan uang.
Menurut Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso, pengungkapan kasus-kasus ini sangat penting demi mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga hukum. Dengan pengungkapan ini, posisi Kejagung kini dianggap lebih progresif dibandingkan KPK dan Polri dalam urusan pemberantasan korupsi.
"Cara kerja tim kejagung cukup cerdas dan sistematis dengan sabar menelusuri hubungan antara pihak-pihak terkait," kata Sugeng dalam siaran persnya, Senin (14/4).
Meski demikian, IPW juga menyoroti kelemahan Kejagung dalam kasus Zarof Ricar. Sugeng mempertanyakan kenapa Kejagung belum mengungkap sumber dana dan peran Zarof sebagai ‘gatekeeper’. Padahal, uang senilai Rp915 miliar yang disita itu diduga digunakan untuk ‘mengamankan’ hakim-hakim lain yang akan menyidangkan perkara.
Sebelumnya, Ronald Tannur diputus bebas oleh majelis hakim PN Surabaya. Putusan itu dianggap janggal karena bertentangan dengan dakwaan jaksa soal kematian Dini Sera.
Setelah penyelidikan intensif selama tiga bulan, akhirnya pada 23 Oktober 2024, tiga hakim yang memutus perkara tersebut bersama seorang pengacara bernama Lisa ditangkap. Investigasi pun hingga menyeret mantan Ketua PN Surabaya, Rudi Suparmono.
Tak berhenti di sana, Kejagung kemudian menelusuri pola serupa dalam putusan bebas terhadap korporasi yang terlibat korupsi ekspor CPO di PN Jakarta Pusat. Pada 17 Maret 2025, tiga perusahaan besar diputus bebas, dan dari sinilah jejak uang mencurigakan mulai terbuka.
Hasilnya, Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta ditangkap bersama sejumlah pihak lain pada 12 April 2025, termasuk panitera muda dan dua advokat.
Mereka diduga menerima aliran dana sebesar Rp60 miliar. Keesokan harinya, giliran tiga hakim lainnya ikut ditetapkan sebagai tersangka: Agam Syarif Baharudin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto—yang semuanya berperan dalam memutus bebas tiga perusahaan sawit besar.
"Terbongkarnya skandal ini, publik kini berharap besar agar sistem peradilan di Indonesia kembali berjalan di jalur yang benar, adil, bersih, dan bebas dari kepentingan politik serta uang," pungkas Sugeng. (*)
Editor : Roby